“Lebih dulu mana, telur atau ayam?”
“Ndasmuuu!!”
Entah saya yang ketinggalan jaman atau jaman yang tinggal diam. Sampai sekarang, saya masih saja mendengar guyon semacam itu berulang-ulang. Sampai saya tidak lagi ingin mendengar tapi, ada terus yang mengingatkan. Dan, biasanya jawaban tersebut selalu sesuka hati yang bertanya.
Pokoknya jika disodorkan pertanyaan-pertanyaan seperti tadi, dijawab pasti gak akan ada benarnya. Kalau gak dijawab maka akan muncul perntanyaan serupa yang– hanya –dibedakan kasusnya.
Iya-kan saja. Semoga selesai perkara. Asal seorang masih seorang manusia waras tentu (mau tidak mau) akan melihat kebenaran mutlaknya.
Sama halnya dengan gaya stand-up fazarwarmit. Selalu ingin saya katakan, “yaudah, sesuka hatimu sajalah.” Tapi, ketika menempatkan posisi komedi tidak sebatas menghibur, maka fazarwarmit ialah satu-satu Komika yang jujur.
Ia menjelaskan suatu fakta sebagai fakta. Tidak ada embel-embel lainnya. Suatu kebenaran, tentunya. Dan, komedi, Ia letakkan sebagai yang bertolak belakang– dengan fakta –saja. Lucu? Pastinya.
Kadang seorang Komika atau pun pelawak lainnya lupa, bahwa komedi juga bertugas sebagai media ‘penyadaran’ bagi setiap orang yang mendengarkan. Sebuah komunikasi persuasif; tidak ada yang dilebih-lebihkan atau dikurangkan.
Pula, Fazarwarmit mengingatkan saya pada kisah Aristoteles yang melegenda: tentang pertanyaan pada gurunya akan cinta. Jadi, pada suatu hari Aristoteles bertanya pada gurunya perihal cinta sejati. Gurunya pun menjawab, “berjalanlah lurus di taman bunga yang luas. Petiklah satu bunga yang terindah menurutmu dan tak perlu lagi berbalik ke belakang.”
Aristoteles pun mengikuti perintah gurunya. Setelah berjalan lurus ke taman bunga, Ia kembali dengan tangan hampa. Tidak membawa satu pun bunga. Aristoteles lalu berkata, “saya tidak bisa mendapatkannya,” gurunya diam. “Sebenarnya saya telah menemukannya,” lanjutnya, “tetapi saya pikir kalau di depan masih ada bunga yang lebih bagus lagi. Ternyata tidak benar. Ketika di ujung taman, saya sadar bahwa bunga yang pertama kali saya temui tadi adalah yang terbaik. Akan tetapi saya tidak bisa kembali ke belakang, karena bunga itu telah diambil orang lain.”
Gurunya Aristoteles tersenyum, “seperti itulah cinta sejati. Semakin dicari yang terbaik, maka tidak akan pernah ditemui.”
Itulah Aristoteles. Dari buku Dasar-Dasar Logika, Drs. Mundiri– yang covernya tampak lebih menarik dari isinya itu, dipaparkan bahwa Aristoteles, Sang Empu-nya Dasar Logika, bahwa logika dapat disimpulan sebagai suatu kebenaran. Dan, kebenaran dalam logika adalah satuan pola pikir yang dinyatakan satu orang tanpa adanya kesepakatan bersama.
Kesepakatan bersama bisa lahir bila sang komunikator (baca: Komika) dapat menjelaskan yang sebenar-benarnya. Seperti yang telah dilakukan Aristoteles pada gurunya. Seperti fazarwarmit dengan berbagai jokes-nya. Atau, saya pikir, fazarwarmit adalah murid Aristoteles yang tersisa; yang sampai sekarang masih mengandalkan kejujuran dalam kebenaran sebagai acuan?
Perpustakaan Teras Baca, 06 – 08 Mei 2014