Ok. Saya harap anda sudah membaca beberapa uraian yang menunjukkan pada kita kedahsyatan dampak apabila kita sepakat menggunakan taek sebagai alat tukar. (Jika belum sila klik untuk membaca bagian pertama)
Di bagian kedua ini kita akan melanjutkan penelusuran kita, sejauh mana nilai positif apabila taek kita jadikan alat tukar.
Membangun Akhlak Bangsa
Salah satu manfaat dahsyat lain di sektor sosial kemasyarakatan apabila taek menjadi alat tukar, adalah potensinya untuk membuat banyak persoalan-persoalan akhlak bangsa bisa kita ubah dengan relatif mudah.
Fenomena pengemis misalnya.
Kita tahu dampak ketimpangan ekonomi menyebabkan pengemis muncul begitu banyak dewasa ini.
Di satu sisi, pengemis memang menjadi satu alternatif problem solving untuk masalah pengangguran. Jika dulu pengemis dianggap hina karena tingkat pendapatan dari mengemis ini dianggap tidak layak, maka dewasa ini kita tahu tidak demikian.
Sering diungkap di media massa bagaimana sebagian pengemis ternyata bisa memiliki pendapatan selevel manajer, satu juta perhari atau bahkan lebih. Meski memang masih banyak yang mendapatkan penghasilan antara seratus sampai dua ratus ribu per harinya.
Tapi fakta itu menunjukkan bahwa perkembangan dunia pengemis profesional ternyata juga sudah begitu maju sehingga dalam dunia pengemis pun berlaku sistem jenjang karir yang jelas seperti pegawai kantoran. Level pemula akan mengemis dengan pola berjalan kaki dari rumah ke rumah. Selayaknya pegawai rendahan, pola kerjanya akan lebih banyak memakan tenaga. Pendapatannya pun masih dalam taraf maksimal setara UMR.
Sementara pengemis yang levelnya sudah lebih sedikit senior, maka ibarat manajer tingkat kepala divisi yang bekerja di area pabrik. Area ngemisnya misalnya di terminal. Tetap harus turun naik bis untuk mendapat penghasilan yang lebih besar dari UMR.
Nah, pengemis level Top Manager tentu saja ibarat Manajer yang bekerja duduk di belakang meja. Mungkin bagi pangemis level ini meja memang tidak menjadi propertinya. Diganti Tiang Lampu Merah.
Jika kita memahami bahwa perkembangan dunia pengemis dewasa ini memang sudah memiliki taraf pendapatan yang cukup layak dan memiliki jenjang karir, maka kita tidak akan heran kalau melihat populasi pengemis semakin hari semakin banyak.
Persoalannya, di sisi lain pengemis sebagai profesi informal menyebabkan dilema bagi masyarakat. Memang sebab utamanya adakah karena adanya perbedaan sudut pandang dimana masyarakat umum tetap belum mampu menyeragamkan pikiran untuk menerima pengemis sebagai profesi.
Bahkan meskipun banyak institusi keagamaan yang membantu mempopulerkan konsep “mengemis adalah sebuah profesi” dengan mengedarkan petugas-petugasnya untuk berkeliling dari rumah ke rumah meminta sumbangan, hal itu pun belum cukup mampu membuat orang mau menerima kalau mengemis itu pekerjaan yang profesional.
Akibatnya sering orang mengalami dilema. Mau ngasi duit bertentangan dengan konsep memanusiakan manusia yang mengedepankan memberi upah pada mereka yang benar-benar bekerja. Sementara jika tidak memberi, kita berhadapan dengan konsep religius yang menuntut umat beragama untuk banyak bersedekah.
Nah, di titik ini kita melihat bagaimana konsep taek sebagai alat tukar yang revolusioner akan membuat kita mudah membentuk diri menjadi manusia yang berakhlak tanpa harus melanggar prinsip memanusiakan manusia yang kita miliki.
Bisa anda bayangkan, jika anak atau istri kita memberitahukan ada pengemis yang datang ke rumah, maka illustrasi percakapan kita akan seperti ini:
“Pak.. ada pengemis tuh di luar..”
“Masih muda atau sudah tua? Sehat atau cacat?”
“Masih muda pak. Kayaknya sih sehat. Seger buger gitu..”
“Ooh.. kalau gitu ya sudah. Kasih Taik aja.”
Atau bila alternatif pengemis yang datang berbeda..
“Sudah tua pak. Mana buta lagi. Kasihan.”
“Hmm.. Kalau itu wajib kita bantu. Kasih makan gih. Yang banyak. Sampai dia kenyang, supaya nanti bisa berak sendiri.”
Anda bisa membayangkan?
Entah memberi sedekah atau memberi makan, akhlak anda akan tetap terjaga bukan?