Cafe, bagi saya, tak ayal baju yang dijual di pasar tapi, diberi label distro kenamaan. setidaknya itu hanya soal tempat dan gengsi ketika nanti akan diceritakan. Ngng… selebihnya tentu tidak ada.
Kadang saya sering juga menemui beberapa karya-karya sastra dari para sastrawan kesohor yang melatari tempat sebuah karyanya di cafe. Hampir dari mereka –tentu tidak semua– menceritakan cafe sebagai tempat menunggu yang paling agung dibandingkan sebuah taman atau warung-warung pinggir jalan. Jadi maklum saja kalau banyak konsep cafe lebih menawarkan dua hal: tempat membunuh waktu dan tempat menunggu seorang yang ditunggu. Itulah cafe, tempat disaat terik siang datang, sampai tak terasa senja sudah muncul dengan warnanya yang ranum. Lalu, senja dengan cepat berganti menjadi malam yang dingin. Dinginnya lebih dari bir dengan beberapa kotak es batu di dalam gelas.
Usaha yang dilakukan para pengelola cafe pun hampir sama, membuat kegiatan untuk mengisi kekosongan namun, tetap masih bisa memanjakan.
Ada dari mereka yang cafe-nya dibuat menjadi tempat nonton bareng, live music, atau hiburan yang sedang booming sekarang ini: Stand-up Comedy.
Saya sungguh mengapresiasi para pengelola cafe seperti itu. Karena, tanpa mereka, anak-cucu kita tak akan kenal lagi The Beatles. Sungguh, The Beatles sangat lekat dengan cafe, saya sampai pernah menulisnya, “The Beatles pun Open Mic“.
Untuk hal-hal membuat sebuah acara, Pandji Pragiwaksono menulisnya dengan singkat dalam bukunya, Nasional Is Me. Di sana ia menceritakan tentang kehidupan semasa kuliah di ITB, FSRD; yang ia sematkan dengan Desa Galia di tengah-tengah jajahan Romawi. FSRD, adalah tempat para seniman; orang-orang yang berkarya. Karena bukanlah seniman kalau tidak berkarya. Setiap karya yang dibuat ingin sekali diperlihatkan ke khalayak banyak. Makanya, mahasiswa di FSRD memang ‘banci tampil’, jadi banyak sekali acara-acara yang dibuat ketika itu. Acaranya dinilai dengan cara paling demokratis: kalau acaranya bagus, maka yang hadir akan ramai, tapi kalau acaranya jelek, akan sepi. Sudah. Tak lebih.
Jadi ini bukan soal siapa yang membuat acara, lalu dianggap tidak mendukung karena tidak datang, tapi ini adalah soal bagaimana mengemas acara sebagus mungkin supaya bisa ramai.
Lebih demokratis, bukan?
***
Membuat acara di cafe sebenarnya tidaklah sesulit membuat calon mertua percaya kalau kita kelak akan menjaga putrinya. Sungguh. Pertama, karena seperti yang saya tulis di atas tentang konsep sebuah cafe tadi. Kedua, cafe adalah tempat yang cocok untuk menimpa diri –khususnya untuk pelaku seni Stand-up comedy.
Memasuki semester kedua di tahun ini, Stand-up Indo Bogor memindahkan lokasi open mic ke sebuah cafe yang relatif baru, Cafe Malabar, Hotel Horison. Meski sudah hampir dua tahun, tapi banyak di antara kalian yang baru tahu kalau ada cafe di sana, kan? Atau, bukan kalian, mungkin saya saja. Ya.
Cafe hotel?
Ibarat kampus, cafe di sebuah hotel tak ayal IPB dengan kampus-kampus lain di Bogor. Yang megah dari IPB, ya cuma branding-nya saja. Padahal antara satu dengan yang lainnya sama saja.
Branding yang tak disengaja menempel pada cafe itu seakan membentuk persepsi yang aneh-aneh. Teman saya, saat kali pertama datang ke #OpenMicBGR dan Cafe Malabar, Hotel Horison, masih beranggapan bahwa harga-harga makanan di sana akan seharga paket internet satu bulan. Maklum, tak selamanya roda ekonomi berada di atas. Kadang di bawah, lalu ke tengah, dan kembali lagi ke bawah. Begitu.
Open Mic di Cafe Hotel
Open mic, bagi sebagian pelaku stand-up comedy menyebutnya sebagai tempat latihan. Tapi, bagi saya, open mic tak ayal ‘pojok hiburan’, sebuah tempat di mana ada satu spot kecil untuk menghibur para pengunjung cafe atau tempat makan. Dan, stand-up comedy di ranah Indonesia berkembang sangat pesat berkat ‘pojok hiburan’ itu.
Cafe Malabar kini menjadi tempat peradilan yang baru bagi komunitas Stand-up Indo Bogor. Tempat para komika mesti pasrah dilahap dengan api yang berbentuk tawa ramah penonton. Api yang tidak membakar. Api yang tidak menghanguskan. Seperti api yang tak sanggup membakar Ibrahim. Seperti api yang tak sanggup menghanguskan Sinta.*
Perpustakaan Teras Baca, Juni-Juli 2014
*) dari cerpen Agus Noor, Kalung.