Sebenarnya orang-orang itu tidak butuh hiburan, tapi orang-orang itu butuh tempat untuk bisa menghibur. Itulah mengapa ada komunitas Stand-up Comedy di mana-mana.
Perkembangan stand-up comedy di Indonesia memang jauh lebih cepat daripada perkembangan sebuah perkumpulan radikal. Hampir seumur jagung memang, tapi wabahnya seperti jentik nyamuk di genangan air. Tahu-tahu ada. Dan, jumlahnya banyak. Dulu orang pesimis terhadap Stand-up comedy, kini pun masih. Hanya yang tekun dan serius saja yang optimis kalau stand-up comedy ini bisa bertahan dan membudaya di Indonesia. Atau, lebih tepatnya jika masih ada orang yang pesimis terhadap perkembangan stand-up comedy saat ini adalah orang-orang yang tidak percaya kalau tanah di Indonesia merupakan tanah Surga, yang bila ditanam apa saja akan tumbuh.
Di Bogor saja misalnya, ketika Kota ini disebut-sebut sebagai Kota Hujan, maka semestinya banyak penyair yang lahir di sana. Karena hujan dan kenangan, adalah satu paket yang tak terpisahkan. Penyair suka sekali kenangan. Bagi mereka, tak ada yang lebih menyayat selain kenangan yang suka sekali lalu-lalang. Namun, entah bagaimana ceritanya, di Bogor pun ada Komunitas Stand-up Comedy: Stand-up Bogor. Sudah tiga tahun komunitas ini berdiri, melakukan kegiatan yang semestinya komunitas lakukan, dan menyambung lidah para pahlawan: mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tidak perlulah bingung, karena saya salah satu dari ribuan orang yang pesimis itu.
Tapi bukanlah yang terjadi hari ini adalah hasil dari kemarin. Apa yang kita lakukan kemarin akan mempresntasikan hari ini akan seperti apa. Menurut hemat saya, apa yang sudah dilakukan komunitas Stand-up Bogor selama tiga tahun ini, semestinya akan berangsur baik, semakin baik, dan maju di kemudian hari. Bayangkan, tidak pernah absen dalam menjalankan open mic setiap minggunya. Rutin memberi pembelajaran terhadap anggota baru di Gathering. Dan, membuat beberapa pertunjukan stand-up comedy. Namun, masih pesimiskah saya terhadap perkembangan stand-up comedy ini? Sedikit.
***
Seperti yang dikatakan oleh penulis, sekaligus pemberontak yang mampu ada di empat era, Pramoediya Ananta Toer, mendapat upah dari menyenangkan orang lain…, itu dalam seni namanya pelacuran. Saya setuju, karena menyenangkan orang lain itu ibadah.
Pelacur memang jauh lebih baik dari koruptor, begitu kata orang-orang. Ini juga saya setuju, terlepas dari perbuatan pelacuran itu haram, tapi pelacur mendapat upah yang semestinya ia dapat dari yang ia lakukan. Koruptor?
Barangkali Tuhan nanti akan memilah dan membedakan apa yang didapat dari keringat dan desahan setiap malam oleh pelacur. Doakan saja.
Jika kalian ingat apa yang digadang-gadang saat Stand-up comedy itu mulai didagang adalah, kita (pelaku stand-up) bisa hidup dari stand-up, asal serius dalam menekuninya. Dan, bila mengingat apa yang sempat ditulis oleh Pram (maksudnya Pramoediya Ananta Toer; terlalu panjang jika saya tulis namanya lengkap) tadi, biar saja jadi pelacur, asalkan serius dalam melacur.
***
Saya tidak menduga, apa lagi percaya, kalau stand-up comedy bisa melangkah sejauh ini. Tapi, saya selalu percaya kalau setiap doa pasti didengar oleh penampunya-Nya. Ibarat sebuah anekdot lawas, orang Indonesia baru bisa makan daging kalau ketemu lebaran saja. Doa pun demikian, setidaknya kita didoakan saat ulang tahun saja. Sisanya lebih banyak ledekan.
Sambil meneguk kopi di perpustakaan, saya melihat isi timeline di Twitter @StandUpIndo_BGR. Apa-apa saja doa untuk komunitas ini yang kini berusia tiga tahun. Apa-apa saja harapan mereka terhadap komunitas ini. Tapi di antara doa itu, masih saja ada minta folback. Jenaka sekali. Tidak ada yang aneh. Semua sudah sesuai rencana Tuhan. Dan kita tinggal menjalankan.
“God gave us the gift of life; it’s up to us to give ourselves the gift of living well” – Voltaire
Gambar: Hadaiko’s Twitpic
Perpustakaan Teras Baca, 18 September 2014