Banjir, Sastra, dan Stand-up Comedy

SUDAH seminggu terakhir pemberitaan di (hampir) semua media cetak maupun elektronik memberitakan tentang banjir di mana-mana. Banjir yang mengisi setiap sudut-sudut wilayah se-Indonesia. Tidak lagi hanya Jakarta.

Tuhan seakan ikut campur tangan di sana. Atau memang benar Ia-lah yang melakukannya? Saya rasa, ya. Bukan soal banjir sebagai musibah tapi, soal tingkah laku makhluk yang hidup di dalamnya. Manusia. Manusia makin hidup semena-mena dengan titipan-Nya. Padahal ini semua (alam, beserta isinya) itu musti dijaga, bukan diolah tanpa tanggung jawab yang jelas sampai lupa merawatnya. Makanya, Tuhan ingin setiap manusia merasakan bagaimana banjir mampu melenyapkan semua; seketika, tanpa ada yang tersisa. Seperti manusia yang semena-mena meraup untung semata dari alam yang musti dijaga. Menyikapi bencana sebagai teguran yang mampu membukakan mata dan bersikap lebih baik dari sebelumnya.

Seketika saya jadi ingat Saut Sitompul, seorang penyair pengamen dari Taman Ismail Marzuqi ini yang entah bagaimana, setiap hari naik-turun Metro Mini, Kopaja, Mayasari Bakti, Biskota, dan lain-lain, hanya untuk membacakan puisi. Bayangkan, setiap hari. Apalagi yang melatar-belakangi hidupnya itu selain kecintaannya akan puisi. Ia sempat berkata, “Puisiku bukan berada di galeri-galeri atau gedung-gedung penuh orang yang wangi. Puisiku akan kubacakan di buskota-buskota.” Mungkin banyak yang tidak mengenalnya, karena memang sedikit dokumentasi terhadap dirinya. Tapi, langkah Saut Sitompul tidak pernah berhenti membunyikan puisi-puisi dari kejamnya jalanan Ibu Kota. Ia ingin setiap puisinya didengar oleh banyak orang.

Lalu, Umbu Landu Paranggi, seorang penyair yang setiap harinya hidup seperti gelandangan. Berjalan kian kemari membawa plastik kresek yang berisi naskah-naskah puisinya dan memberikannya pada semua orang di Malioboro. Umbu Landu Paranggi mendorong orang-orang untuk mengenal keberaksaraan. Kalau boleh mengutip dari artikel Arman Dhani, seorang Kritikus Sastra dan Budaya, Umbu Landu Paranggi bukanlah penyair yang hebat, bukan penulis yang ulung, bukan pula penulis esais yang konsisten menulis kolom yang sama bertahun-tahun. Ia hanya ingin orang menulis dan membuat karya. Sesederhana itu dan konsisten selama bertahun-tahun.

Apakah saya semakin berlebihan bila mengkaitkan itu semua dengan #OpenMicBGRtour? Saya rasa tidak. Lihat apa yang telah dihasilkan, kini Komunitas Stand-up Indo Bogor tengah menghasilkan komika-komika yang mungkin menghiasi layak kaca dan panggung-panggung hiburan lainnya. Fazarwarmit misalnya, yang beberapa waktu lalu tampil di standupmetrotv, dan betapa Ia membanggakan dirinya setelah itu dengan followers di twitter-nya bertambah sampai 50-an lebih. Ia bergabung ketika #OpenMicBgrTour pertama dan dengan konsisten setelah itu terus berlatih dan menjajal materinya di panggung #OpenMicBGR. Koide Namizo, Komika langganan di event-event show stand-up comedy di Bogor. Banyak acara telah dinodai olehnya dengan jokes yang mampu membuat orang terhibur oleh penampilannya. Meski tak sekonsisten Fazarwarmit, tapi Ia mampu mempertahankan kelucuan itu dan terus meningkat di setiap tahunnya.

#OpenMicBgrTour, suatu langkah baik untuk terus menyebarkan virus stand-up comedy ke khalayak banyak dari cafe ke cafe setiap akhir pekan. Menyebarkan dengan memberi pembelajaran langsung kepada setiap orang yang berminat adalah proses belajar terbaik; selain pengalaman.

Setidaknya saya percaya, untuk sesuatu hal yang baik perlu waktu yang lama dan konsistensi tinggi. Tuhan selalu punya cara yang tidak bisa diduga untuk makhluk ciptaanNya agar terus berkarya dan membukakan mata; bahwa sesuatu yang baik mesti disebarluaskan bagaimana-pun caranya. Dan, saya pikir, harta paling berharga dari penulis adalah pembaca, dan harta paling berharga dari pembicara adalah pendengar. Sampai bertemu di #OpenMicBgrTour nanti.

Perpustakaan Teras Baca, 23 Januari 2014

Share :

Twitter
Telegram
WhatsApp