“Setiap goyangan, aku merasakan kenikmatan. Dangdut membuat hidup yang tadinya pedih perlahan menghilang. Hatiku tentaram,” ucap seorang mahasiswa tingkat akhir yang akhir-akhir ini sedang menyelesaikan skripsi.
Entah apa yang di pikiran mahasiswa itu. Tapi dangdut, memang hiburan yang bisa dinikmati semua kalangan. Dari rakyat lapisan bawah sampai pejabat berkerah, suka dangdut. Kalangan bawah asyik goyang, kalangan atas malah memanfaatkan demi sebuah jabatan.
Lingkar hidup pejabat dengan dangdut seperti rantai makanan, diawali dangdut dan berakhir pada dangdut. Benar saja, cara mereka (baca: pejabat) meraup banyak suara atau mengumpulkan massa, pasti dengan menggelar konser dangdut di mana-mana. Di sana ada dangdut, di situ rakyat bisa berpesta. Namun, sering juga pejabat tersandung dengan (penyanyi) dangdut; jabatannya hilang karena tertangkap tangan ‘main’ dengan para penyanyinya. Menyedihkan. Kalangan atas yang kasihan, tidak bisa merasakan dangdut sebagai musik hiburan, melainkan sebagai senjata andalan. Lalu, dengan mudah jabatan hilang dan tak bisa goyang.
Meski dangdut disebut sebagai musik comberan oleh Sang Maestro-nya, Rhoma Irama, tapi dangdut tetap bisa menggerakkan sendi-sendi yang telah (lama) kaku. Melupakan sejenak hati yang pilu.
Saya sendiri pernah mengulas sedikit tentang Dangdut dianggitan yang berjudul, Entertainer. Sebenarnya dangdut dan komedi (stand-up comedy khususnya) sama saja. Sama-sama menghibur pada akhirnya.
Sebagai salah satu alternatif hiburan –beriring dengan perkembangannya yang cepat, Stand-up Comedy lambat laun diminati dan dimasukan ke dalam agenda Pesta Demokrasi. Di KPU, sebagai media sosialisasi. Di Partai peserta pemilu, sebagai alat kampanye agar dianggap beda dengan yang lainnya.
Bahkan, dalam salah satu agenda kampanye Jokowi ketika PilGub Jakarta, Ia stand-up di depan pendukungnya. Keren. Lebih keren daripada pidato keagamaan di hadapan pendukungnya; agama dijadikan barang dagangan.
Pandji melakukannya untuk mendukung Anies Baswedan di Konvensi Partai Demokrat. Lewat video yang Ia unggah di YouTube, cukup bisa meraih simpati masyarakat. Toh, secara hakikat, fungsi kampanye adalah untuk memberitahu (visi dan misi beserta segala macamnya) kepada yang tidak tahu menjadi tahu. Di sana, saya rasa, Pandji berhasil melakukannya.
Mungkin di Pemilu 3-5 tahun mendatang, akan tiba saatnya, stand-up comedy bisa dipandang seperti dangdut pada umumnya; yang menghibur dan mampu mengumpulkan massa. Lalu, stand-up comedy menjadi alat penyampai informasi yang baik, bukan?
Perpustakaan Teras Baca, 21 Maret 2014
gambar: dari sini