Dramaturgi, Pintu Sakral Dunia Pementasan

Dunia Pementasan

Pintu Sakral Dunia Pementasan

“Sebelum naik panggung (stand-up) terus ngerasa deg-deg-an, itu malah bagus. Nah, kalau gak deg-deg-an, itu gak bagus. Tapi, kalau udah di panggung (stand-up) masih deg-deg-an, itu bahaya. Makanya, sebelum perform, selain ngehafal materi, gue juga ngebadaninnya.”@Dzawinur

Saya sendiri kurang paham maksudnya, tapi setidaknya saya sepakat. Ibarat malam pertama (kalau yang belum pernah melakukannya sebelum nikah), bisa di ranjang berdua dengan yang kita cinta sebelum bercinta, seakan semua rasa bersatu-padu dalam pikiran dan bingung mesti apa dulu yang dilakukan. Ujung-ujungnya cuma deg-deg-an dan masing-masing tidur dalam pelukan guling, juga bantal dijadikan sandaran.

Dunia hiburan, hanya soal panggung pertunjukan. Sisanya, kita kembali menjadi manusia normal pada umumnya; yang tidur, makan, dan senang menggantungkan harapan.

Kalau saya tidak benar, mohon maafkan. Tapi, seingat saya, dalam dunia teater ada istilah yang disebut Dramaturgi. Itu ialah pintu pemisah diri kita sebelum naik panggung pementasan; dimana seorang aktor memainkan karakter-karakter manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran kehidupan yang disajikan. Pun, setelah kita melewati pintu itu, maka kita akan menjadi aktor/lakon yang mesti diperankan. Walaupun itu berbeda 180º dari apa yang biasa lakukan, tapi ketika menjadi entertainer, itulah tuntutan. Profesionalitas didahulukan.

Seperti halnya ‘Pintu Kemana Saja’ milik Doraemon, Dramaturgi, ialah ‘Pintu Siapa Saja’ yang mesti dilalui seorang performer. Pintu yang sakral yang ada di alam bawah sadar yang sama sekali tak nampak bentuknya namun, sangat berasa keberadaanya.

Dzawin misalnya, dalam keseharian, Ia lebih pantas duduk dengan satu kaki diangkat ke kursi panjang, daripada berdiri sendirian dan stand-up di depan ratusan orang. Atau, ketika ingin digambarkan secara spesifik, Dzawin tak ayal mahasiswa yang sering kita lihat duduk manis di warkop yang tangan dan mulutnya sibuk ngemil rintilan tepung sisa gorengan yang bercecer di nampan(rintilan tepungnya, bukan gorengannya. Itu gratis.) Namun itulah, Dzawin berhasil melewati pintu Dramaturgi dengan baik. Sangat. Setiap Ia stand-up, delivery sampai materi dapat dikemas menjadi satu satu penampilan yang menawan.

Lihatlah Dzawin ketika membahas politik, pendidikan, sampai kehidupan sekitar dunia pesantren, sangat gagah namun konyol. Ia berhasil membangun setup seperti gedung dengan kualitas terbaik; semen pilihan, batu bata jempolan, dan konstruksi tanpa mesti memotong belanja anggaran. Lalu, dengan mudah Ia menghancurkannya melalui punchline semi-absurd gak jelasnya itu seperti meletakan sebuah dinamit di antara pondasi di bangunan yang sudah dibangun; seketika hancur berantakan. Sangat khas.

Dan, semua bisa dipelajari. Saya jadi ingat ketika diskusi di Rumah Kata Indonesia, kala itu ada Daeng Khrisna, Ipang Dewe, dan saya juga beberapa spesies yang saya tidak kenal. Eh, maksud saya, di sana saya hanya mendengarkan tanpa ikut diskusi. Mereka mendiskusikan soal bakat, menurut Daeng Khrisna, bakat itu bisa dipelajari dan bukan semata anugerah dari Tuhan yang (hanya) dikaruniai ke setiap orang. Ketika itu beliau meng-analogi-kan dengan orang yang sedang berenang, “misalnya ada dua orang dan salah satunya tidak belajar terlebih dulu tentang teori-teorinya maka yang terjadi adalah satunya tidak tenggelam dan satunya tenggelam. Dan, yang tenggelam tadi tidak akan mati di sana (setidaknya ada usaha untuk mempertahankan diri supaya selamat). Lain cerita ketika dilombakan, yang mempelajari teori-teori terlebih dulu akan keluar menjadi juara daripada yang tidak.”

Maksudnya ialah, sebelum terjun ke suatu bidang tertentu, alangkah baiknya mempelajari teori dulu. Kalau pun tidak juga tidak apa-apa. Namun, ketika kita mempelajari dahulu ketimbang otodidak, maka akan ada peluang untuk menjadi juara.

Dzawin sempat disematkan sebagai Komika Keliling; yang mampir ke setiap open mic komunitas kapan dan di mana saja. Ia mendalami stand-up comedy dengan belajar secara praktek tanpa tahu-menahu teorinya. Ya, walau itu bisa membawanya menjadi finalis Kompetisi SUCI 4, tapi tetap saja dirasa kurang. Lain lagi sekarang, ketika Dzawin sudah berdomisili tetap di Komunitas @StandUpIndo_BGR, dalam gathering yang rutin diadakan setiap minggu dan dipimpin oleh pembina dari Komika sekaliber Jui Purwoto, Dede Kendor, dan Hada Hitut maka perlahan Dzawin membuka dirinya dengan kerendahan hati belajar teknik dan teori tentang stand-up comedy.

Kemudian, muncullah pertanyaan, apakah Dzawin akan bertahan dan keluar sebagai juara di ajang Kompetisi SUCI 4 setelah mendalami teori dan teknik tentang stand-up comedy?

Kita lihat saja nanti. Biasanya, di sini Tuhan kerap campur tangan.

Perpustakaan Teras Baca, 13 Maret 2014

gambar: dari sini