Saya ingat betul sebuah anekdot ketika bermain PES (Pro-Evolution Soccer) 2013, “jika Messi sudah membawa bola, biarkan saja. Percuma. Meski sudah dihadang dengan slengkatan, marking dua atau tiga orang, ia tetap lolos. Kakinya ada empat, makanya Messi mampu lari sangat cepat”. Mustahil bagi pesepak-bola pada umumnya bisa melakukan hal serupa; selain Messi. Mustahil bagi seorang anak kecil yang sudah divonis penyakit akan hal tumbuh-kembangnya malah menjadi pemain sepakbola paling ditakuti di dunia saat ini. Atau, mungkin, segala hal yang mustahil dalam sepak bola, yang gaib seperti Sufi, dan yang serba-tidak-mungkin layaknya sebuah jokes stand-up comedian, memang ada pada diri Messi?
Mungkin….
Mungkin saja, karena Messi menunjukan itu saat laga melawan Iran di Piala Dunia 2014. Ketika Carlos Queiroz, pelatih Iran, sudah memikirkan akan memakai formasi apa untuk laga selanjutnya melawan Bosnia Herzegovina dengan hasil imbang melawan Argentina. Lalu wasit pembantu dengan pasangannya, The Hublot sedang mengatur berapa waktu yang layak diberikan. Pada saat yang sama pula Messi mendapat operan pendek dari Zabaleta. Pendukung Argentina pasrah dengan hasil imbang, dan pendukung Iran merasa bangga bisa menahan Argentina, namun sayang, Messi yang tidak tinggal diam. Ia membawa bola sendirian ke depan kotak penalty Iran dan kurang dari dua meter jaraknya di luar kotak penalti, Messi melewati beberapa pemain Iran. Bola ditendang keras dengan kaki kirinya. Gol. Pendukung Iran terdiam. Hening sesaat. Bola itu meluncur mulus ke arah pojok kanan Haghighi. Empat menit waktu tambahan. Tidak ada lagi yang merubah kedudukan sampai Milorad Mazic meniupkan pluit Sang Saka. Argentina menang. Messi menjadi pahlawan.
Pun, di laga final melawan Jerman….
Gol Mario Gotze mengheningkan sejenak kota Rio de Jeneiro yang dipadati pendukung Argentina. Di Stadion Marracana tidak hanya hening, namun pendukung Argentina yang saat itu memadati kota mendadak merasa cemas yang mendalam; cemas yang mampu menimbulkan tangis berkepanjangan dan tak terlupakan. Lewat satu serangan yang tampak biasa saja, Schuerlle mengirim umpan ke dalam kotak penalti Argentina. Di sana ada Muller yang bergerak tiga langkah ke depan untuk membuka ruang, Martin Demichelis mengikutin dan Gotze tidak ada yang menjaga. Pola serangan false-9 berhasil. Gotze dengan mudah menaklukan Romero dengan tendangan first-time.
Tapi bukan Messi bila langsung menyerah. Ia ingin seperti pendahulunya, Maradonna (karena biar bagaimana pun juga, Messi bukanlah apa-apa dibanding Maradonna yang dulu telah membawa Argentina juara pada Piala Dunia 1986). Messi ingin melakukan hal serupa ketika melawan Iran; bertindak heroik dengan membuat satu gol dipenghujung laga. Satu kakinya berhasil melewati Schweinsteiger, tapi ketika satu kakinya lagi sudah membuat ancang-ancang untuk siap lari, tiba-tiba ada kaki yang menjulur menyilang. Messi kehilangan keseimbangan. Seperti yang sudah diriwayatkan peribahasa, “sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya akan jatuh juga”.
Di hadapan berjuta pasang mata. Di hadapan uang-uang yang sedang dipertaruhkan. Di hadapan bola yang tergeletak dan Cristo Redentor, Sang Penebus, di luar stadion Marracana, semua menunggu Messi membuat segala hal yang mustahil menjadi nyata, membuat segala hal yang gaib menjadi terlihat ada, membuat segala hal yang serba-tidak-mungkin menjadi mungkin lewat tendangan bebasnya di menit-menit akhir.
Dan, akhirnya Messi melakukan hal yang mustahil, yang gaib, yang serba-tidak mungkin. Seorang yang mampu memberikan banyak piala di lemari tropi Barcelona, namun gagal membuat gol dari bola mati. Posisi yang sudah sering ia temui dibanyak laga ketika berseragam Barcelona. Messi seakan membuka tirai kegaiban dalam sepakbola. Everything is possible.
Stand-up Comedy, Implementasi Sebuah ‘Ketidak-mungkinan’
Plato, Cicero, Aristoteles, dan Francis Bacon (dalam Gauter, 1988) mengatakan bahwa orang tertawa apabila ada sesuatu yang menggelikan dan diluar kebiasaan. Menggelikan diartikan sebagai sesuatu yang menyalahi aturan atau sesuatu yang sangat jelek. Lelucon yang menimbulkan ketertawaan, juga mengandung banyak kebencian. Lelucon selalu timbul dari kesalahan/kekhilafan yang serba tidak-mungkin menggoda dan kemarahan.
Naluri manusia untuk mencari kegirangan, kesenangan, kegembiraan, dan hiburan sudah dimiliki sejak masih bayi. Sejak seorang bayi dilahirkan, ibunya segera melatihnya untuk menyukai kegembiraan. Hampir setiap saat, ibu tersebut mengusahakan dengan giat agar sang anak dapat tertawa girang. Ia sering menirukan tingkah laku binatang, mengeluarkan bunyi aneh-aneh, dan memperagakan hal-hal yang tidak masuk akal, selalu merangsang agar anaknya suka tertawa. Ketika sang anak sudah beranjak dewasa, kebutuhan akan kegembiraan itu sudah melekat erat dalam dirinya. Manusia hidup dengan naluri kuat untuk mencari kegembiraan dan hiburan.
Komedi/humor identik dengan sesuatu hal yang lucu. Ada beberapa teori, tapi lebih banyak digunakan ialah superioitas; jika yang menertawakan berada pada posisi super, sedangkan objek yang ditertawakan berada pada posisi degradasi (diremehkan atau dihina).
Saya jadi ingat sebuah silabus Didiek Rahmanandji tentang Humor dan segala fungsinya, “pada situasi tertentu, humor bukan sesuatu yang lucu.” Kadang pula, para Komedian –khususnya Stand-up Comedian– membuat jokes-nya pada hal-hal yang terlampau jauh, sehingga malah membuat sikap defensive pada penontonnya. Sebagai contoh, jokes tentang seks, maupun SARA. Meski stand-up comedy mengedepankan keterbukaan pikiran (baik pelaku maupun penikmat) dan kebebasan dalam berpendapat, namun perlu diingat pula batasan-batasan norma yang berlaku di masyarakat itu sendiri.
Ketidak-mungkinan dalam stand-up comedy, bagai gigi dan gusi: menyatu. Comedy is tragedy plus time, begitu kata Carol Burnett. Dari Kitab SUCI – Papa Ramon, dalam diri kita terdapat ber-ton-ton bahan (membuat jokes). Semakin menderita hidup seseorang, semakin dimungkinkan menampilkan banyak kelucuan. Cukup tragis memang, tetapi itu akan lebih menjiwai dalam membawakan kisah hidup sendiri. Sebuah pengalaman yang berbeda dari orang lain, kisah sedih, atau sisi gelap yang bagi orang lain itu tidak mungkin malah terjadi, bahkan terbukti pada diri sendiri.
Seperti Messi dengan gagalnya mengeksekusi bola mati di laga final. Seperti para Sufi dengan segala caranya mencintai dan menjadi kekasih Tuhan. Everythings is funny as long as it is happening somebody else, kata Will Rogers.
Perpustakaan Teras Baca, Juli 2014
Referensi bacaan: Renungan Renungan Sufistik – Jalaluddin Rakhmat, Silabus Didiek Rahmanandji – Humor dan Segala Fungsinya, dan Kitab SUCI – Ramon Papana