Maut, yang berdiri di sisi ranjang pun tertawa
Bahkan, menjelang mati
kamu masih sempat melucu.
Lalu disentuhnya hati-hati
ruhmu.
(Lelucon Menjelang Kematian – Agus Noor, 2011)
Kadang kita merasa senang bisa terus bersama komedian. Dengannya, dunia seakan hanya diisi bahagia dan tawa. Karenanya, menjadi pelawak di negeri ini semestinya pekerjaan yang paling mulia. Entah, karena apa dan kapan pun ketika sudah bersentuhan dengan media, maka pesimis mudah timbul dengan sendirinya. Bad news is a good news, begitu prinsipnya. Komedi –bagaimana pun bentuknya– adalah potret sebuah fragmen kehidupan sosial yang nyata; seperti musik, komedi dibuat untuk menghibur namun di sebagian orang akan menjadi kritik sosial. Hebatnya komedi itu selalu memberi solusi dalam setiap kasus yang ada; bukan hanya sekedar menghina atau menjelek-jelekan satu objek saja.
Srimulat, hadir menjelajah dunia hiburan melalui genre komedi satir yang juga dipadu-padankan dengan nyanyi-nyaian dibeberapa babaknya (babak, adalah istilah dalam dunia pementasan teater ketika sudah berganti latar satu ke latar berikutnya). Yang selalu membuat saya kagum dengan Srimulat itu ketika sudah mulai melebarkan sayapnya ke dalam dunia bisnis hiburan, maka mereka tidak mengubah pakem yang sudah ada. Keep on a personal brand. Keep on a persona. Keep on a personality. Ketiga hal itulah yang membuat kita ingin menonton Srimulat, juga menanti untuk melihatnya lagi, lagi, dan lagi.
Hari minggu (3/7/2014) lalu, komedian senior Srimulat tutup usia. Mamiek Prakoso, namanya. Dunia yang dulu sempat kita impikan mendadak hening sekejap. Bahkan sempat terpikir, “mesti dengan siapa saya bersama nantinya?” Atau, seorang penyair yang butuh periih dan lirih untuk mengindahkan karyanya pernah mengingatkan, tertawa yang berlebihan akan membawa pada sedih dan pedih yang berkepanjangan. Setidaknya kita dan penyair membutuhkannya.
Dunia hiburan kejam, Bos, itu yang saya ingat dari salah seorang pengelola event organizer, “mesti kuat-kuat ngadepin pasar yang beragam”.
Prakoso, dalam bahasa Indonesia berarti “kuat”. “Kuat” yang saya maksudkan di sini adalah konstensi Mamiek Prakoso di dunia hiburan Indonesia yang kejamnya 11:12 dengan neraka jahanam. Kesenangan yang Mamiek buat ia lahap sekaligus dengan sedih dan perihnya. Tak jarang ia menyembunyikan segala keluh dan kesahnya pada rekan kerjanya; termasuk penyakitnya.
Dua hal yang tak bisa saya lupakan dari komedian senior Srimulat itu: warna pirang di kedua sisi rambutnya dan kalimat/kata-kata yang ‘sekonyong-konyongnya’ itu. Oleh sebab itu, sebagai pelawak, Mamiek dikenal dengan kecerdasan dan memiliki inisisatif tinggi. Lelucon-lelucon yang keluar dari mulutnya seakan spontan dan tidak lebih dulu terpikirkan.
Karena berasal dari grup lawak Srimulat, Mamiek tetap mengangkat subkultur Jawa sebagai pondasi setiap leluconnya yang berisi tentang pesan dan kritik sosial. Menariknya, Ia selalu berpegangan pada prinsipnya, “tidak ada komedi cerdas, karena setiap komedi itu mencerdaskan.”
Mamiek ingin sekali mencerdaskan kehidupan bangsa lewat lawakan-lawakannya. Itulah cita-cita leluhur negara kita yang mesti direalisasikan. Meski dunia hiburan ini kejam, buktinya ia mampu sampai beberapa hari menjelang ajal ia masih mampu melucu. Karyanya tak surut termakan jaman. Tidak luntur seperti corak ikan cupang.
Perpustakaan Teras Baca, Agustus 2014