Semangat Street Comedy adalah semangat untuk menunjukkan bahwa stand-up comedy agar tetap bisa tumbuh semakin dan makin berkembang di Indonesia. Yang mungkin jauh dari kemegahan kompetisi-kompetisi stand-up comedy yang pernah ada.
Stand-up comedy telah berkembang dari sekedar tren musiman. Jauh sebelum para pencibir bilang ini adalah genre komedi kacangan.
Ya, Street Comedy adalah salah satu genre yang lain dari stand-up comedy. Meski ada yang bilang genre ini bukan termasuk ‘stand-up’– karena hanya sekedar lucu-lucuan saja —tapi, toh dari sinilah stand-up comedy di Indonesia semakin berwarna. Jika dilihat, stand-up comedy itu ya intinya mesti melucu. Bagaimana pun cara dan bentuknya. Lucu, ya lucu. Titik. Dari esai yang ditulis Zen RS yang berjudul ‘Tertawa Bersama Menkominfo’, tawa itu menjadi suatu yang “tak-tertib”, hal ikhwal yang “tak-terkendali”. Tawa adalah chaos, letupan yang bisa timbul dari memutarbalikkan kemapanan. Sesuatu yang anti-order atau anti-ketertiban.
Tak ada aturan khusus ikhwal cara menertawakan sesuatu.
Pandji pun menulis sedikit perihal soal street comedy di bukunya Merdeka Dalam Bercanda, “Tolak ukur untuk mengetahui apakah ini hanya sebuah tren sesaat atau sebuah pertumbuhan yang sehat adalah dengan melihat kualitas comic yang muncul. Sebuah tren rentan terhadap mentalitas ‘ikut-ikutan’.” Dari sanalah para penggerak Stand-up Comedy di Indonedia membuat sebuah kompetisi. Tahun ini adalah gelaran ke-empat.
Street Comedy adalah sebuah kompetisi stand-up comedy terbesar selain kompetisi yang ada di tivi itu. Seperti kompetisi kecil-kecilan untuk Komika yang tak bisa menyentuh kemapanan; layaknya anak jalanan. Ini pun tergambar dalam film ‘Glory Road’.
Film yang menceritakan dua kultur ras manusia yang berbeda di Amerika dalam satu tim basket SMA. Film itu berlatar tahun 1966, tahun di mana isu ras masih sangat kental. Saat itu Don Haskins (yang diperankan apik oleh Josh Lucas) mendapat mandat dari sekolahnya untuk menjuarai NCAA (sebuah kompetisi antar SMA se-Amerika).
Dana yang dikucurkan dari pihak sekolah untuk membeli pemain berbakat yang dananya tak jauh berbeda dari harga lampu untuk lapangan basket sekolah. Jauh dari megah. Dengan pemain yang ada– kulit putih semua –belum cukup membuat Don Haskins puas untuk mengikuti kompetisi tersebut. Ia mulai mencari pemain lain dengan dana yang ala-kadarnya.
Adalah Bobby Joe Hill, seorang pemain kulit hitam yang selalu duduk di bench. Melihat bakatnya, Don Haskins pun memilihnya untuk masuk tim inti. Dari sana pula, terbersit Sang Pelatih merekrut orang-orang kulit hitam. Ada yang dari anak jalanan, ada yang direkrut dari anak-anak putus sekolah. Itu terbilang ‘nyeleneh’ karena saat itu kulit putih sangat diagungkan. Dan, orang kulit hitam hanya dipandang sebatas perusak permianan. Segala hal yang tak diduga pun terjadi, di dalam tim terdapat tujuh pemain kulit hitam dan lima pemain kulit putih. Tapi, pada akhirnya… seperti film pada umumnya, pemeran utama selalu menang; happy ending lebih tepatnya.
Dari sanalah Don Haskins berhasil. Berani melawan arus besar yang mengharuskan sebuah aturan– tak tertulis –yang jelas-jelas ia langgar kemudian.
Street Comedy Competition sudah di depan mata. Inilah pesta para ‘anak jalanan’ yang jauh dari kemapanan, namun dekat dari sebuah kemenangan. Adakah yang lebih manis dari kemenangan?
Silakan dukung jagoan Komika Street Comedy di kotamu! Di Bogor, final audisi akan dilaksanakan di Bull wings Factory, jumat, 23 Mei 2014.
Selamat bersenang-senang di beberapa hari kemudian dalampesta ‘Kemenangan Anak Jalanan’.
Perpustakaan Teras Baca, 21 Mei 2014
— Sumber bacaan: MDB – Pandji, Petarung Jalanan, Hal 93 ¦ Esai Zen Rahmat Sugiharto, Tertawa Bersama Menkominfo
gambar: dari sini